Sabtu, 22 Januari 2011

resensi buku 'kabul beauty school'

Bersolek di Tengah Perang

Judul buku                            : Kabul Beauty School
Penulis                                 : Deborah Rodriguez
Penerbit                               : Bentang Pustaka
Tahun Terbit                         : 2009
Jumlah Halaman                  : 429 hlm
Ukuran buku                        : 20,5 cm
Harga buku                          : Rp  49.000,00
Nomor ISBN                         : 978-979-1227-52-0

Kabul Beauty School

Afghanistan, sebuah negeri tempat sebenarnya tak ada kehidupan pesta publik. Perempuan yang berkeliaran, salon kecatikan, musik, tari-tarian, gambar orang dan mahluk hidup lain, sepatu putih, menerbangkan layang-layang serta menanam anggur merupakan beberapa hal yang dilarang oleh Taliban, diantara banyak larangan lain yang mungkin tidak lumrah bagi kita yang mendengarnya. Misi kemanusiaan pada daerah konflik semacam Afghanistan terdengar lumrah, tapi sekolah kecantikan di Afganistan dengan reputasi penguasa Taliban dengan cap “teroris”. Debbie hanyalah seorang penata rambut dan ahli kecantikan, yang diterjunkan ke Afganistan bersama serombongan pekerja sosial. Sekolah kecantikan pada sebuah misi kemanusiaan adalah gagasan gila. Tanpa diduga, keahliannya sangat bermanfaat bagi para perempuan Afghan yang selama ini tersembunyi di balk Burqa. Tergugah oleh kenyataan di lapangan, Debbie mendirikan sekolah kecantikan Kabul. Tentu saja tidak mudah mengajarkan semua materi kecantikan. Ada perbedaan budaya, dan bahasa terutama. Novel berdasarkan kisah nyata ini berbicara banyak tentang gender di negara yang tidak menganut gender.                         
Banyak yang tahu bahwa di Afghanistan, perempuan yang tampil terlalu menonjol pasti akan menimbulkan reaksi masyarakat, khususnya menjadi pusat perhatian kaum Adam karena tabu. Akibatnya, mereka harus selalu tertutup dan menjaga diri. Tapi banyak yang tak tahu jika perempuan di negara itu bisa saja dikirim ke penjara karena mempunyai pacar, berusaha lari bersama pacar-pacar mereka atau lari dari para suami mereka yang kejam. Keperawanan sangat penting bagi wanita di Afghanistan, tapi dengan porsi berlebih. Ketika malam pertama, semua anggota keluarga terutama ibu dari perempuan itu akan menunggui proses “malam pertama” yang dilakukan antara anaknya dengan menantunya. Proses selanjutnya, si ibu akan menungu hasilnya lewat sebuah sapu tangan putih sebagai hasil “malam pertama” itu. Jika ternyata memang ada darah sebagai tanda keperawanan, maka semua pihak akan bahagia, tapi sebaliknya jika tak ada tanda itu, sang suami bisa menceraikannya karena merasa telah tertipu.
Ditulis dengan sentuhan humor cerdas, lewat novel ini ia bercerita kepada dunia bagaimana wajah sebenarnya dari perempuan-perampuan Afghanistan yang sesungguhnya dapat didengar. Sekolah Kecantikan dan Salon Kecantikan bisa dikatakan merupakan media penelitian Debbie. Interaksi menariknya dengan para murid Sekolah Kecantikan, para pekerja salon dan orang-orang di sekitarnya sangat menarik untuk diikuti. Taliban sendiri begitu menentang salon kecantikan bukan karena salon membuat perempuan terlihat seperti pelacur atau merupakan kedok bagi rumah pelacuran sebagaimana yang dinyatakan Taliban, tapi lebih karena salon kecantikan memberi kaum perempuan ruangannya tersendiri, tempat mereka bebas dari kontrol laki-laki. Sekolah kecantikan dan salon kecantikan tidak hanya memberi hal sederhana kepada para peangaksesnya, tidak sesederhana ilmu atau pelayanan yang mereka dapat. Maknanya lebih dari itu.                      
 Sekira  429 halaman novel ini banyak bertutur tentang perempuan dan kenyataan hidup mereka di Afghanistan. Novel ini adalah sebuah cerita kocak tentang arti persahabatan dan cinta lintas budaya. Debbie juga mengajak para pembacanya untuk memahami kekuatan solidaritas persaudaraan sesama perempuan. Ketulusan, persahabatan, cinta dan saling keterbukaan untuk berbagi cerita terungkap disini. Berkatnya, Sekolah Kecantikan dan Salon Kecantikan telah menumbuhkan harapan bagi perempuan Afghanistan. Para perempuan Afghanistan merasa lebih mempunyai harapan baru untuk masa depan mereka. Para perempuan Afghanistan yang berani, yang berdiri tegar melewati masa-masa perang dan perkawinan paksa dan begitu banyak kungkungan lainya, itulah motivasi terbesar Debbie yang mendorongnya untuk meninggalkan pernikahannya yang buruk di Michigan. Ia berhutang kebebasaan dirinya pada para perempuan Afghanistan yang tegar itu. Karena itu, ia sangat mencintai para perempuan Afganistan dan Afghanistan selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar